Senin, 04 Agu 2025
Rabu, 26 Februari 2025 14:42 WIT Arnold
Penahanan Tersangka Korupsi Tata Kelola Minyak Mentah oleh Kejaksaan Agung RI - Antara
"Para tersangka (RS, SDS, dan AP) melakukan kongkalikong dalam rapat optimalisasi hilir yang dijadikan sebagai dasar untuk menurunkan produksi kilang, sehingga hasil dari produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap sepenuhnya".
TERASKASUARI.COM, JAKARTA - Kejaksaan Agung RI menetapkan Direktur Utama (Dirut) Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan sebagai tersangka korupsi tata kelola minyak mentah dengan taksiran kerugian keuangan negara hampir mencapai Rp 200 triliun.
Taksiran kerugian keuangan negara ratusan triliun itu akibat dugaan kecurangan yang dilakukan antara direksi anak usaha PT Pertamina dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode tahun 2018–2023.
- Pengangkatan P3K Paruh Waktu, Rudi Orosomna Minta Kebijakan Khusus Bupati Bintuni
- Dinilai Salah Kamar Adat, LMA Papua Barat Tolak Korwil Bentukan Lenis Kogoya
- Komisi III DPR Papua Barat Soroti Kontribusi PT PADOMA Bagi Pendapatan Asli Daerah
“Beberapa perbuatan melawan hukum tersebut telah mengakibatkan adanya kerugian keuangan negara sekitar Rp 193,7 triliun,” ujar Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar di Jakarta seperti dikutip tempo.co Senin, 24 Februari 2025.
Riva ditetapkan sebagai tersangka bersama 3 petinggi Pertamina lainnya dan 3 pemimpin perusahaan swasta. Atas perbuatannya, mereka dituduh melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
*Alur Korupsi Tata Kelola Minyak Mentah*
Kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di Pertamina, sub holding, dan KKS terjadi pada periode 2018-2023.
Jampidsus Kejaksaan Agung Abdul Qohar dalam keterangan pers kepada media, menjelaskan bahwa pemenuhan minyak mentah dalam negeri wajib mengutamakan pasokan minyak bumi dari dalam negeri.
Pertamina, kata Abdul, wajib mencari pasokan minyak bumi yang berasal dari kontraktor dalam negeri, sebelum memutuskan untuk melakukan impor.
Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri ESDM Nomor 42 Tahun 2018 tentang Prioritas Pemanfaatan Minyak Bumi untuk Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri.
"Akan tetapi, tersangka RS, SDS, dan AP melakukan kongkalikong dalam rapat optimalisasi hilir yang dijadikan sebagai dasar untuk menurunkan produksi kilang, sehingga hasil dari produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap sepenuhnya," ujar Abdul.
Pengondisian tersebut, lanjut Dia, menyebabkan pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dalam negeri dilakukan dengan cara impor.
"Ketika produksi kilang minyak sengaja diturunkan, produksi minyak mentah di Indonesia oleh KKKS juga sengaja ditolak dengan dalih tidak memenuhi spesifikasi dan nilai ekonomis.
Oleh karena itu secara otomatis, bagian KKKS untuk dalam negeri harus diekspor ke luar negeri," ujarnya menjelaskan.
Selanjutnya, untuk memenuhi kebutuhan minyak mentah dalam negeri, PT KPI mengimpor. Sementara Pertamina Patra Niaga melakukan impor produk kilang.
“Harga pembelian impor tersebut apabila dibandingkan dengan harga produksi minyak bumi dalam negeri terdapat perbedaan komponen yang sangat tinggi atau berbeda harga yang sangat signifikan,” tutur Abdul.
Dia menuturkan, dalam kegiatan pengadaan impor minyak mentah oleh PT KPI dan produk kilang oleh Pertamina Patra Niaga, diperoleh fakta adanya perbuatan melawan hukum antara penyelenggara negara.
"Dugaan perbuatan melawan hukum yaitu, sub holding Pertamina dengan broker. “Tersangka RS, SDS, dan AP memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum,” jelasnya.
Tak hanya itu, tersangka DW dan GRJ juga diduga melakukan komunikasi dengan AP supaya bisa mendapatkan harga tinggi ketika syarat belum terpenuhi.
"Dari situ, kemudian tersangka mendapatkan persetujuan SDS untuk impor minyak mentah dan dari RS untuk impor produk kilang.
Akibat tindakan itu, komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan harga indeks pasar (HIP) bahan bakar minyak (BBM) yang dijual ke masyarakat menjadi lebih tinggi.
"Lalu, HIP tersebut dijadikan alasan pemberian kompensasi maupun subsidi BBM setiap tahun melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)," katanya menjelaskan.
Sementara itu, Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso memastikan operasional perseroan tetap berjalan normal seperti biasa usai penetapan status tersangka atas tiga direktur perusahaan itu.
“Pertamina memastikan pelayanan distribusi energi kepada masyarakat menjadi prioritas utama dan berjalan normal seperti biasa,” ujarnya dalam keterangan tertulis. (red|TK-TEMPO|Jihan Ristiyanti berkontribusi dalam penulisan artikel ini)